Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, Liliek Setiawan, mengatakan Akademi Komunitas Solo telah berhasil memproduksi pewarna tekstil yang berbahan baku tanaman. Pewarna tekstil dari tanaman khas Indonesia bisa menekan ketergantungan industri tekstil atas pewarna impor.

Akademi Komunitas Solo mengembangkan produk pewarna tekstil yang berasal dari tradisi pengrajin Indonesia agar bisa digunakan dalam industri modern berskala besar.

Pewarna tradisional, lanjutnya, dimodifikasi agar bisa lebih tahan lama melekat di tekstil dan diubah bentuknya dari cair menjadi gel atau bubuk.

Dia menjelaskan pewarna tradisonal hanya bisa disimpan selama 3 bulan hingga digunakan dalam proses produksi. Produk pewarna sejenis yang diolah menjadi gel atau bubuk bisa bertahan di stok pabrik hingga 2 tahun.

“Kami telah mengembangkan dalam bentuk gel kemudian dalam bentuk powder. Produksinya sudah ada dalam tiga warna yaitu merah, kuning, dan biru,” kata Liliek .

Akademi Komunitas Solo saat ini baru memproduksi sekitar 50 kilogram pewarna setiap hari yang seluruhnya terserap oleh industri kecil dan menengah di wilayah Solo dan sekitarnya.

Liliek memperkirakan volume produksi harus ditingkatkan hingga mencapai 150 kilogram per hari agar aktivitas produksi mencapai skala ekonomi.